Setelah Kabupaten Tayan memproklamirkan diri menjadi kerajaan, maka statusnya tidak lagi menjadi bawahan Kerajaan Tanjungpura, tetapi sudah berdiri sendiri. Meskipun didaerah lain atau dalam sistem kerajaan ada nama penyebutan tersendiri seperti Panembahan atau Sultan, Masyarakat Adat Dayak Tobag cendrung dengan menggunakan julukan atau gelar yang dipakai pada masa lampau. Berikut Raja-raja Tayan yang kami rangkum:
RAJA LIKAR ; Pada Tahun 1683 Raden Likar mengganti status kepemimpinannya. Setelah beberapa tahun menjadi Adipati, Patih Likar dikukuhkan menjadi Raja Tayan dengan disaksikan kembali oleh Raja Sintang. Tumenggung Junggah bergabung dengan Kerajaan Tayan dan Senopati Urang dari Labai diangkat menjadi Panglima kerajaan Tayan menggantikan Layang Ompok. Raja Likar dengan Ratu Periyok memiliki empat orang anak, yaitu: Raden Gagok, Raden Manggar, Raden Togok, dan Dayang Perua. Pada tahun berikutnya Tumenggung Ambun Jati menjadi Rakrian Mantri Raja Dalam urusan Adat.
RAJA GAGOK ; Pada tahun 1718 Raja Likar sudah berusia tua dan tidak mampu lagi melaksanakan tugas-tugasnya, kemudian ia melantik Putra mahkota Kerajaan Tayan bernama Gagok. Raden Likar meninggal dan dimakamkan di bukit Abu Angat sungai meliau. Sementara Raden Manggar berkuasa menjadi Adipati di Kadipaten Meliau. Raja Gagok menikah dengan putri Raja Melayu bernama Halijah.
GUSTI RAMAL ; Tahun 1751 Raden Martajaya menjadi Raja Tayan mengganti ayahnya Raden Gagok yang meninggal. Kebudayaan islam semakin kuat memasuki istana. Raja Tayan memeluk agama Islam dengan nama Gusti Ramal. Istrinya Ratu Indut dari Benua Raya juga beragama islam. Pada masa ini Raja Tayan pun membuat amar keputusannya yang berisi: dalam adat Dayak Tobag, nilai Omas atau amas diganti dengan Real, dan Adat Pasong Bubu diganti dengan Adat Pantak Batang. Gusti Ramal mempunyai beberapa orang anak, yaitu: Raden Sumayuda, Utin Belondo, Raden Mangku,dan Raden Tanjung. Setelah Tumenggung Ambun Jati meninggal, beliau diganti Tumenggung Mangko.
GUSTI KAMARUDDIN ; Sekitar tahun 1780 Pangeran Sumayuda menggantikan ayahnya menjadi Raja Tayan. Pangeran Sumayuda sudah memeluk agama islam, setelah dinobatkan menjadi Raja Tayan ia dikenal dengan nama Gusti Kamaruddin dengan gelar Panembahan.Pada masa ini pengarus Islam mulai kuat di Kerajaan Tayan. Tumenggung Mangko diangkat menjadi Mangku Setya Raja. masa ini sekelompok persekutuan dagang (Kongsi) China ingin menguasai perdagangan diwilayah Kerajaan Tayan dan berambisi menguasai keraton Tayan. Istana Tayan diserang orang Cina Bejambol (Cina Sentiam) yang membuat terowongan di bukit Jan Mas. Penguasa Kerajaan Tayan waktu itu sempat pindah Ke Empetai dan Entangis, dan sebagian ke pulau pode’, maku’, dan Tebang Benua. Setelah orang cina bejambol dikalahkan, mereka yang mengungsi kembali lagi. Pada masa ini lah karet diperkenalkan VOC Hundia Belanda. Gusti Kamaruddin mempunyai istri bernama Utin Inting, dan mempunyai beberapa orang anak, yaitu: Gusti Mekah, Gusti Repa, dan Putri Syurifa. Pada masa ini terjadi wabah penyakit kulit dan Raja juga terjangkit. Dan disembuhkan melalui alamat mimpi nenek Labai. Setelah terjadi perperangan antara Kerajaan Pontianak dan Kerajaan Sanggau. Orang Sentiam (Orang Cina) Menterado dan daerah Bengkayang membuat terowongan di balik bukit Janmas (hujan Emas) menuju kearah istana Kerajaan Tayan, bermaksud menyerang dari dalam dan langsung melumpuhkan istana sebagai pusat pemeritahan kerajaan Tayan. Tapi berhasil dilumpukan istana, dan tewas lah seluruh orang sentiam cina bejambol. Tempat terjadi pembunuhan orang-orang sentiam tersebut dinamakan Sebuntu. Dalam kejadian tersebut tewaslah Hulu Balang bernama Syarif Hamzah suami Utin Syurifa.
GUSTI MEKAH ; Meninggalnya Gusti Kamaruddin pada tahun 1812 dan naiklah putranya Gusti Mekah yang kemudian bergelar Panembahan Nata Kusuma. Masa ini Temunggong Sembok (Keturunan Bilang Putra Macan Tikas) diangkat menggantikan Mangku Mangko yang meninggal. Sekitar tahun 1820 Bago’di Segelam Danau menghalangi rencana VOC menanam karet, Istana Tayan marah. Bago’ yang digelar Panglima Kayu Mirah diburu serdadu VOC dan pihak istana. Keluarga Bago’ ditawan dan Bago’ pun menyerah. Pada tanggal 12 November 1822 Gusti Mekah mengikat perjanjian dengan VOC untuk alih kendali atas perekonomian Kerajaan. VOC pun mencampuri kebijakan Istana Kerajaan Tayan. Gusti Mekah sangat menyesali atas tindakannya itu dan mengalami sakit. Setelah setahun sakit, ia wafat.
GUSTI REPA ; Karena Gusti Mekah tidak mempunyai keturunan, maka pada tahun 1825 adiknya Gusti Repa naik tahta, bergelar Panembahan Kusuma. Gusti Repa selama memerintah menderita sakit. Konon sakit karena diracun. Gusti Repa kurang disenangi diantara kerabat keraton. Selama pemerintahannya Gusti Repa tidak banyak berbuat apa-apa. Beliau wafat pada tahun 1828 dan beliau tidak mempunyai keturunan.
RATU UTIN BLONDO ; Pada tahun 1828 yaitu nenek raja sebelumnya Utin Blondo naik tahta bergelar Ratu Kesuma Negara. Utin Blondo tidak mau kompromi dengan VOC dan memutuskan kerjasama. Ratu utin Blondo mengadakan sayembara memilih pengawal utamanya. Dan terpilihlah Kujek, Kital dan Ngkinang. Suatu hari Ratu mengundang Kerajaan Minang yang sangat terkenal aksi pencak silatnya untuk melakukan pertandingan persahabatan. Para pengawal utama sang Ratu tidak tingal diam dan turut serta melakukan persiapan itu. Aksi-aksi mereka rupanya dilihat para tamu turut serta dalam pertandingan. Pangeran Minang itu mengerti dan setuju usulan perwakilannya dalam adu jago dan menyampaikan kehendaknya pada Ratu Tayan. Sang Ratu tersenyum dan mengerti. Maka pertandingan itu pun dibatalkan dan diganti pertunjukan pergelaran seni pencak silat saja. Dimasa itu juga pihak VOC kekuatan armadanya bermaksud menggertak dan hendak memaksa melanjutkan kontrak. Perubahan yang diajukan pihak VOC Hindia Belanda sangat memberatkan beban rakyat, maka kontrak tersebut ditolak oleh Utin Blondo. Pihak VOC tidak terima dan berisyarat melawan kekuatan sang Ratu. Ratu Utin Blondo ditemani ketiga pengawal dan beberapa prajurit tangguhnya langsung pergi menuju dimana kapal VOC berlabuh dan sang Ratu yang emosi langsung menginjak tepi kapal VOC Hindia Belanda tersebut hingga hampir tengelam. Keadaan ini membuat pihak VOC membatalkan maksudnya dan segera meninggalkan Istana menuju ke Pontianak. Pada saat mesin kapal sudah dihidupkan untuk pulang ternyata kapal tersebut tidak bergeser dari tempat semula, walaupun air sungai yang terkena baling-baling / kipas kapal tersebut sampai keruh. Keadaan ini membuat pihakVOC semakin panik, dan pemimpin VOC akhirya minta maaf dan mohon izin ke Ratu Tayan untuk meniggalkan Istana. Setelah itu barulah kapal mereka bisa bergerak meninggalkan Tayan.
GUSTI HASAN ; Pada Tahun 1833 Utin Blondo merasa sudah tua, dan diganti suaminya Gusti Hasan bergelar Panembahan Mangku Kusuma Negara. Pernikahannya dengan Utin Blondo dikaruniai 2 (dua) orang anak yaitu: Gusti Inding, dan Gusti Karma. Pada masa ini istilah Orang Darat (Penduduk yang masih menganut paham leluhur) dan Orang Laut (Penduduk yang menganut islam) mulai diperkenalkan karena anggapan waktu itu tidak ada suku melayu, suku melayu itu dari Malaya, Deli, Palembang dan Bangka. Selama pemerintahan Gusti Hasan ini konon VOC Hindia Belanda belum berani mendekati kraton Tayan. Pada masa ini diangkat Tumenggung Jihan menggantikan Mangku sebelumnya.
GUSTI INDING ; Setelah wafatnya Gusti Hasan pada tahun 1855 naik tahtalah Gusti Inding bergelar Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma. Pihak VOC kembali dan berusaha mendekati Raja Tayan. Raja kini tidak dikawal ketiga pendekar sakti masa Utin Blondo.VOC dibawah pimpinan Kanjeng Gouvernement Hindia Belanda berhasil mengikat kontrak dengan Raja Tayan dan memberi beberapa hadiah kepada yang raja termasuk hadiah untuk pergi ketanah suci, karena sangat gembira sang Kanjeng Gouvernement juga menganugrahi gelar gelar baru bagi Raja yaitu Panembahan Anom Paku Negara Surya Kusuma. Pada tahun 1840 diangkat Tumenggung Kamit jadi Mangku di wilayah hiliir meliau. Raja Tayan setelah naik haji disebut Panembah Haji berselisih dengan Kerajaan Landak. Terjadilah perang dengan sebab kurang begitu jelas dan tidak adanya kemenangan dari pihak manapun.
GUSTI KARMA ; Merasa sudah tua, Gusti Inding menyerahkan kekuasaan kepada adiknya Gusti Karma pada tahun 1873. Gusti Karma menjadi Raja dengan gelar Panembahan Adiningrat Kesuma Negara. Beliau beristrikan Andi Fatimah putri Andi Naim dari Kerajaan Bone di tanah sulawesi, setelah menikah sang putri berganti nama menjadi Utin Fatimah, dan memiliki anak diantaranya: Gusti Indung atau Muhammad Ali, Gusti Ismael, Gusti Ining, Tija Melijah, dan Utin Mariyam. Pada masa ini Tabib bernama Lahim (Sei Rongas) diangkat menjadi Tabib Istana Tayan. Tabib ini juga diperbantukan ke istana Kerajaan Pontianak. Pada tahun 1862 Tumenggung Abong diangkat menjadi Mangku Kapuas Bijan. Pada tahun 1876 Tumenggung Ketoyo diangkat menjadi Mangku wilayah hilir Tayan.Dan Mangku Nahar wilayah Benua Raya.
GUSTI INDUNG ; Wafatnya Gusti Karma pada tahun 1880 maka diangkatlah Gusti Indung bergelar Panembahan Paku Kesuma Negara. Pada tahun 1889 Raden Abdul Salam Adipati Meliau alias Pangeran Manado melepaskan kekuasaanya kepada VOC Hindia Belanda dikarenakan beliau pindah ke tanah Betawi. Hindia Belanda menyerahkan meliau ke Kerajaan Tayan, VOC pun semakin kuat mempengaruhi istana Kerajaan Tayan. Pada tahun 1898 Gusti Indung membangun istana Kerajaan Tayan di Tanjung. Beliau mengutus Mangku Abong dan Mangku Ketoyo untuk mengerahkan rakyat Tayan membangun istana. Maka dikeluarkanlah kayu dari danau bekat, dari sungai Tayan, dari Sungai Lais, dan sungai belungai. Setelah terbangunnya istana Tayan, Gusti Indung kemudian memindahkan Kota Raja ke istana baru di tanah tanjung sampai sekarang. Gusti Indung memiliki 12 (dua belas) orang anak, yaitu: Gusti Tamdjit, Gusti Mukmin, Gusti Mustafa. Tiak Dompet, Raden Muluk, Raden Andi, Utin Rafiah, Tiak Saruna, Tiak Iding, Utin Salbiah, Utin Sadiyah, dan Utin Salmah.
GUSTI TAMDJIT ; Gusti Indung wafat, maka naik tahtalah Gusti Tamdjit pada tahun 1905 bergelar Panembahan Anom Paku Negara. Gusti Tamdjit beristrikan 5 (lima) orang diantaranya: Utin Pipah, Utin Saedah, Utin Wangi, Utin Sepa, dan Utin Mariyam. Pada tahun 1906 Gusti Tamdjit menyerahkan daerah Meliau ke Hindia Belanda dengan sistem ganti rugi, dan pihak Hindia Belanda memberi gamti atas daerah Meliau dengan membayar dalam bentuk uang dan emas. Dan daerah Meliau nantinya akan disebut Gouvernement Gebied. Gusti Tamdjit memiliki 19 (sembilan belas) anak, yaitu: Gusti Madri, Gusti Djafar, Utin Zahrah, Utin Kemala, Gusti Intan, Utin Nurkiah, Gusti Hasnan, Utin Mariyam, Gusti Machmud, Gusti Hasan, Gusti Husin, Utin Atina, Gusti Djohan, Gusti Muhammad Ali, Utin Katiah, Gusti Nurdin, Gusti Ismail, Utin Udara, dan Utin Hanafiah. Pada tahun 1916 Mangku Tapot diangkat menggantikan Mangku Abong di Beginjan menguasai wilayah Kapuas Belumba. Sedangkan di Benua Raya dikuasakan kepada Mangku Ngewah.
GUSTI DJAFAR ; Wafatnya Gusti Tamdjit pada tahun 1929, diangkatlah Gusti Djafar Raja Tayan bergelar Panembahan Anom Adi Negara. Sementara Gusti Madri lebih memilih pada pendalaman agama islam. Gusti Djafar memiliki 3 (tiga) orang istri, yaitu: Utin Maimunah, Utin Hafsah, dan Utin Halidjah. Utin Halidjah adalah putri Gusti Muhammad Tahir Raja Sanggau. Pada tahun 1931 Gusti Djafar membangun aula depan keraton untuk tempat penerimaan para tamu yang datang ke istana dan acara-acara pertemuan. Aula tersebut dihiasi barang antik koleksi kerajaan seperti keramik tiongkok, perisai/tameng, tombang dan beberapa alat dan senjata lokal lainnya. Gusti Djafar juga menata halaman / alun-alun keraton, karena beliau sangat menyenangi seni dan keindahan. Maka pada waktu tertentu keraton juga menyelenggarakan pentas seni tradisional di keraton sebagai hiburan untuk rakyat. Perkembangan lain dimasa pemerintahan Gusti Djafar adalah dibangunnya jalan Tayan menuju sosok bekerja sama dengan pihak Kompeni. Dan usaha pembangunan terakhir beliau adalah dibangunnya Kantor Kerajaan Tayan yang disebut Balai Agung. Pada tahun 1935 Mangku Cunggat menggantikan Mangku Ketoyo di benua sepode’. Dari pernikahannya Gusti Djafar dikaruniakan 16 (enam belas) orang anak, sedangkan tiga orang lainnya meninggal masih bayi. Ke enam belas tersebut adalah: Gusti Ismail, Gusti Usman, Gusti Kenaan, Gusti Abas, Utin Zahriah, Utin Anisyah, Gusti Muhammad Thahir, Utin Kamariah, Utin Djamaliah, Gusti Bustami, Gusti Busni, Utin Aisyah, Gusti Alidin, Gusti Darmawi, Gusti Rubini, Gusti Sofian, dan Utin Asyiah. Pada tanggal 19 Desember 1942 hari jumat jam 11:00 siang di Pontianak sekitar Kampung Bali (jalan H. Juanda /Sisingamangaraja). Kejadian dekat Tangsi (asrama serdadu Belanda) adanya penyerangan 9 (sembilan) unit pesawat Jepang membombardir tempat itu saat masyarakat hendak sholat, dan selain serdadu Belanda, banyak masyarakat sekitar yang tewas atas kejadian itu. Mendengar kejadian ini pihak Keraton Tayan pun segera mengungsikan seisi keraton menuju Kampung Entangis, setelah itu pindah ke Kampung Manang. Sementara Gusti Djafar dan prajuritnya masih tetap di istana. Datangnya Kompeni Belanda menjadikan Tayan sebagai pangkalan militernya dengan 3 (tiga) pesawat terbang dengan kapuas sebagai landasannya. Pangkalan digunakan tidak terlalu lama, tapi mereka sempat melakukan serangan ke serawak kucing dan tarakan yang didudukan oleh tentara Dai Nippon (Jepang). Jepang masuk ke Kalimantan Barat melalui Sambas. Belanda menyerah ke Jepang karena sekutu kalah, memberi ruang kepada Gusti Djafar untuk mengunjungi keluarga di Manang. Gusti Djafar tidak tenang dan kembali kekeraton, dalam perjalanan ia bertemu dengan rakyat yang membawa barang jarahan dan Gusti Djafar memerintah agar mengembalikan barang jarahan tersebut. Jepang beraksi menangkap Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, dan Raja-raja lainnya di Kalimantan Barat, termasuk Gusti Djafar Raja Tayan. Pada masa ini perlawanan rakyat terhadap Jepang menjadi-jadi. Suatu peristiwa dimana pimpinan pasukan rakyat Tumenggung Gagak dibantu Mangku Tapot, Mangku Cunggat, Utin Timah, Panglima Akek, Panglima Kilat, Panglima Itun, Panglima Eton, Panglima Dadu, Panglima Jab, Panglima Cabo dan Panglima Burung, juga ada beberapa orang kuat yang tercatat mengikuti perang diantaranya: Suden, Hasan, Gunung, Pajar, Kapuk, Asoi, Adam, Kondoi, Meran, Laji, Dolek dan Oran. Perperangan terjadi sangat sengit. Konon ceritanya Utin Timah memiliki peluru petunang yang tak bisa habis. Pasukan Jepang kalah dalam perang ini, pasukannya yang masih tersisa melarikan diri ke Meliau. Korban dari pasukan rakyat yang gugur perang di Sengkuang Tajur diantaranya: Ombai, Entajok, Johor, Gunding ,dan Ayon. Setelah menang di sengkuan tajur, kemudian bala pasukan rakyat sebagian menuju Meliau, diantaranya Panglima Burung, Panglima Dadu dan lain-lain, Mangku Tapot tetap di Beginjan, Kapuk dan Pajar tidak turut serta dikarenakan cedera. Panglima Gagak, Panglima Kilat, Panglima Itun, Panglima Jap dan Panglima Eton menyerang ke Tayan Hulu, membawa sebagian pasukan dari sengkuan tajur ikut menuju Tayan Hulu untuk membantu Panglima Busu dan pasukannya yang menghadang pasukan Jepang menuju Batang Tarang yang dipukul mundur oleh pasukan rakyat pimpinan Panglima Jauhari. Dalam peristiwa ini pasukan rakyat yang gugur diantaranya: Panglima Eton dan Panglima Itun meninggal saat penyerangan di Tayan Hulu Sosok. Demikian juga di daerah lain setelah terjadi perlawanan di Labai dan di Embuan Tua yang dimenang pasukan rakyat pimpinan Menera (Pangsuma). Berikutnya terjadi gejolak di Temurak-sungai bongkok Meliau. Pasukan rakyat (Sungai galing, Temurak, Pemudang, dan Melobok): dalam koordinasi Tumenggung Kunduk (Temurak) dibantu pasukan rakyat dari Sengkuang Tajur mengadakan perlawanan. Ada beberapa yang berjaga di Pemudang menghadang kapal Jepang yang hendak kembali ke Tayan. Melihat kondisi kurang menguntungkan pihak tentata Jepang, sehingga pasukan Jepang mundur ke Meliau memperkuat benteng disana. Sementara Suku Dayak Desa dipimpin Tumenggung Mandi. Dan Suku Melayu dipimpin Gusti M. Ali. Pasukan rakyat bergabung dibawah koordinasi Panglima Menera. Dalam peristiwa perlawanan ini tewaslah Panglima Menera.
GUSTI ISMAIL ; Setelah terjadi banyaknya pergerakan rakyat melawan penjajah kala itu, serdadu Jepang menjadi kalang kabut. Tak lama terdengar kabar kalau Jepang kalah perang dari sekutu dan pertahanan mereka mulai goyah, dan serdadu Jepangpun dilucuti pihak Sekutu. Pihak Jepang pun tidak berani mengganggu Kerajaan Tayan lagi. Pada waktu aman tersebut tahun 1945 dilantiklah Gusti Ismail naik tahta sebagai Raja Tayan selanjutnya. Pada Tahun 1949 Diangkat Mangku Cembang menjadi Mangku terakhir di Kerajaan Tayan. Gusti Ismail bergelar Panembahan Paku Negara.
