lmadt.org. Di tengah rimba lebat Kalimantan, jauh sebelum nama “Dayak” dikenal dunia, leluhur Dayak telah melalui masa-masa penuh gejolak. Ada sebuah masa yang sangat dikenal dalam cerita turun-temurun masyarakat Dayak — masa itu disebut Zaman Nule.
Zaman Nule bukanlah sekedar periode waktu biasa. Ia adalah masa perubahan besar, masa di mana Tuhan — yang dalam kepercayaan Dayak dikenal sebagai Jebata — menginginkan kebaikan dan keseimbangan kembali ke tengah kehidupan manusia.
Perpecahan Bangsa Dayak dan Lenyapnya Kedamaian
Setelah bangsa Dayak mengalami perpecahan besar akibat perpindahan dan perbedaan adat, lahirlah berbagai kelompok dengan tradisi dan aturan masing-masing. Sayangnya, perselisihan mulai muncul. Adat yang seharusnya diwarisi sebagai pedoman hidup justru diselewengkan demi ambisi dan kekuasaan.
Adat digunakan bukan lagi untuk menjaga harmoni, tetapi dijadikan alat untuk mempertahankan ego dan kelompok. Permusuhan antar kampung, perseteruan antar suku, hingga perang kecil kerap terjadi — semua atas nama adat leluhur. Melihat kekacauan ini, Jebata tidak tinggal diam.
Turunnya Utusan Langit: Sengkumang Si Tungkat Langit
Konon, sekitar 200 tahun sebelum masehi, langit Kalimantan menyimpan satu kisah besar. Dikisahkan, Jebata mengutus seorang Sengiang (makhluk suci langit) bernama Sengiang Solong untuk turun ke bumi. Ia menjelma menjadi sosok kakek tua bijaksana bernama Sengkumang Si Tungkat Langit — nama yang begitu legendaris di tanah Dayak.
Sengkumang datang bukan untuk berperang, bukan pula membawa senjata, tetapi membawa petunjuk dan misi damai. Ia mendekati seorang pandai besi sederhana bernama Gremeng, seorang keturunan Ot-Danum yang tinggal di Tanjung Kuring, Kalimantan Tengah. Gremeng dikenal sebagai Pang Ukir atau “Bapak Ukir” — seorang yang jujur, bijaksana, dan dihormati.
Warisan Langit: Tiga Pusaka Suci
Sebagai tanda perutusan dan amanah dari langit, Sengkumang menyerahkan tiga benda keramat kepada Gremeng:
- Keris Besi Kuning → Simbol Keberanian dan Keadilan
- Peti → Simbol Rahasia Pengetahuan dan Peradaban
- Piring → Simbol Persatuan dan Keharmonisan
Tiga pusaka ini bukan sekadar benda, tapi lambang tanggung jawab untuk menjaga tanah, adat, dan kehidupan masyarakat Dayak.
Lahirnya Gelar Raja Tungkat Rayat
Setelah pertemuan itu, Gremeng kembali ke kampungnya dan menceritakan semua kejadian luar biasa itu. Para tetua adat membenarkan isyarat tersebut. Mereka percaya, Gremeng bukan orang biasa — dialah orang pilihan utusan langit. Melalui upacara adat besar, Gremeng diangkat menjadi Raja Tungkat Rayat — raja pertama yang memegang Tungkat Rayat, simbol kekuasaan dan pelindung tanah Dayak.
Pesan Leluhur yang Abadi
Raja Tungkat Rayat bukan hanya pemimpin duniawi. Ia adalah simbol pengembala adat, penjaga perdamaian, dan perantara antara manusia Dayak dan Sang Pencipta. Kepemimpinannya meninggalkan pesan penting:
“Siapa pun yang memegang adat, haruslah menegakkan kebenaran, menjaga kedamaian, dan memperlakukan semua manusia dengan adil tanpa memandang suku dan kelompok.”
Legenda tentang Raja Tungkat Rayat bukan hanya cerita masa lalu, tapi cermin bagi masyarakat Dayak hari ini — bahwa adat bukanlah alat untuk berkuasa, melainkan warisan suci untuk menjaga kehidupan yang selaras antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
“Tanah Dayak bukan sekedar bumi warisan leluhur, tetapi tanah perjanjian antara langit dan manusia untuk hidup damai selamanya.”