lmadt.org. Pulau Kalimantan, atau Borneo dalam sebutan dunia internasional, bukan sekadar pulau biasa. Di tanah berhutan lebat ini, tersimpan kisah-kisah tua tentang asal mula manusia, terutama bagi masyarakat Dayak Tobag — salah satu suku tua yang meyakini dirinya bagian dari jejak awal peradaban di tanah Borneo.
Ketika Fosil dan Mitologi Bertemu
Dalam dunia ilmu pengetahuan modern, bukti sejarah keberadaan manusia purba di Kalimantan memang masih minim. Namun, sebuah penemuan penting terjadi pada tahun 1969 di Sarawak, Malaysia, tepatnya di kawasan Batu Niah. Para arkeolog menemukan fosil manusia purba jenis Homo Sapiens yang diperkirakan hidup antara 60.000 hingga 35.000 tahun Sebelum Masehi.
Tak hanya itu, di kawasan Gua Babi, Kalimantan Selatan, juga ditemukan fosil serupa. Menariknya, hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya kemiripan dengan kelompok Suku Punan — suku pribumi tertua Kalimantan yang dipercaya punya garis leluhur dengan banyak rumpun Dayak, termasuk Dayak Tobag.
Tanjung Bunga, Tanah Leluhur Dayak
Dalam tradisi lisan Dayak Tobag, ada satu lokasi yang dipercaya sebagai tanah asal mula nenek moyang mereka, yaitu Tanjung Bunga — sebuah kawasan yang digambarkan sebagai Tanah Taman Terindah. Lokasinya dipercaya berada di sekitar Bukit Raya, jantung hutan Kalimantan yang misterius.
Dari tanah inilah, para leluhur Dayak mulai menyebar ke berbagai penjuru Kalimantan. Saat itu, pola hidup nenek moyang Dayak masih sangat nomaden — berpindah-pindah untuk mencari tempat hidup baru yang lebih subur dan aman.
Perjalanan Besar, Awal Mula Rumpun Dayak
Sekitar 60.000 hingga 30.000 tahun yang lalu, dimulailah Gelombang Besar Perpindahan suku-suku Dayak:
| Rumpun | Arah Perpindahan | Menjadi Cikal Bakal |
|---|---|---|
| Ot Danum – Ngaju | Tetap di tengah Kalimantan | Dayak pedalaman (Kalimantan Tengah & Barat) |
| Punan | Ke Utara (Kaltara) | Suku Punan modern |
| Iban / Dayak Laut | Ke Barat (Sarawak – Malaysia) | Dayak pesisir dan Iban |
| Apo Kayan | Ke Timur | Rumpun Apo Kayan (Kalimantan Timur) |
| Murut | Ke Utara (Sabah & Brunei) | Rumpun Murut (Sabah) |
| Klemantan / Dayak Darat | Ke Selatan (Pesisir pantai) | Rumpun Dayak Klemantan di sekitar Sukadana – Matan |
Salah satu pusat kebudayaan terbesar suku Dayak kala itu berada di wilayah pesisir, dikenal sebagai Benua Bumbun-Maya atau Binua Aya, yang kini diyakini berada di sekitar Sukadana dan Matan (Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat).
Kisah Perpecahan dan Identitas Baru
Namun, seiring waktu, kehidupan tidak selalu berjalan damai. Terjadi berbagai perpecahan, baik karena perebutan wilayah, perbedaan cara hidup, hingga tantangan alam. Dari perpecahan itulah muncul identitas-identitas baru dalam tubuh besar Dayak, termasuk Dayak Tobag sendiri.
Perkembangannya Suku Bangsa Dayak menyebar mengelompok berdasarkan kesamaan bahasa dan kedekatan kekeluargaan, akan menyebar dan pindah mencari tempat baru, karena pola hidup nomaden masih melekat dalam diri mereka. Perpindahan awal ditempat yang bernama Tanjung Bunga atau Tanah taman terindah (sekitar bukit raya). Kerabat yang tetap pada tradisi dan tinggal ditengah tak jauh dari tanah asal, yang menjadi cikal bakal Rumpun Ot Danum-Ngaju. Kelompok lain seperti Rumpun Punan dan dalam perkembangannya pindah ke utara (Kaltara). Kelompok yang pindah ke Barat (Serawak sekarang) yang menjadi cikal bakal Rumpun Iban/Dayak Laut. Kelompok yang pindah ke timur menjadi cikal bakal Rumpun Apo Kayan. Kelompok yang pindah ke utara (Sabah dan Brunai) menjadi cikal bakal Rumpun Murut. Dan kelompok yang terakhir pindah ke selatan atau pantai laut yang menjadi cikal bakal Rumpun Klemantan/Dayak Darat. Rumpun Klemantan mempunyai pusat kebudayaan dilaman Laman Bumbun dan laman Maya disebut Benua Bumbun-Maya atau “Binua Aya“, yang letaknya dipesisir pantai (Sekitar Sukadana-Matan sekarang).
Kisah perpecahan selanjutnya terjadi pada masa yang diperkirakan sekitar 5000 SM atau pada masa kekacauan adat dan tradisi, Rumpun Klemantan di Laman Bumbun pada masa ini diganggu Wabah dan penyakit. Segala upaya mengusir dan menangkal wabah gagal. Kemudian para tetua Adat bermusyawarah dan bersepakat untuk mengungsi. Singkat cerita perjalanan mulai dilakukan masuk di daerah matan lawai. Perjalanan melalui jalur sungai ini menggunakan transportasi perahu disebut Sangkan (sampan yang kecil) dan Bangkong (sampan yang besar). Di muara lawai mereka istirahat dan menginap. Para lelaki berburu, sedangkan yang perempuan mencari sayur-mayur seperti rebung, pakis, dan kulat/jamur. Malamnya mereka menyantap hidangan, mungkin karena kelelahan mereka pun terlelap. Keesokan harinya terjadi Kekacauan dan kebingungan karena dalam satu kelompok tidak mengerti bahasa masing-masing. Masing-masing kepala kelompok keluarga awalnya tadi bermusyawarah dengan bahasa isyarat yang tentunya bisa dimengerti para kepala tersebut. Keesokan harinya masing-masing kepala menelusuri dan mendata secara lisan para kerabat yang merasa mengerti bahasa barunya. Selama beberapa hari barulah dapat dibentuk kelompok baru dengan bahasa baru yang mereka mengerti. Mereka lalu singgah dimuara lawai kemudian di serang oleh wabah nyamuk sehingga sungai itu diberi nama Sungai Nyamuk.Peristiwa adanya serangan nyamuk itu banyak memakan korban orang tua dan anak-anakyang mengurangi seperempat populasi penduduk setempat saat itu. Kelompok yang menghindar dan berpindah lagi, ada yang terus masuk ke sungai pemaring dan menetap disekitar tanah itu. Beberapa tahun kemudian mudik melintasi pintas mendawak kemudian melaju ke hulu mendapati sungai yang lebih besar. Salah satu pemimpin dalam kelompok besar itu berseru, katanya: “Sajati ka-puas atak ka botak ae’ tuko’to’“.(artinya: Sangatlah lega datang ke disungai besar ini). Inilah asal nama Kapuas (sangat lega menurut versi Dayak Tobag). Kelompok ini kemudian masuk ke selat pulau (pulau jambu – selat gempar sekarang) menetap di bukit tamang (sekitar batas tanah Sepodek) beberapa tahun disitu. Kelompok Pe’ Langkap dan kelompok Pe’ Apet kemudian memisah dari kelompok ini dan pindah menuju hulu. Sementara kelompok Pe’ Leber yang masih menetap dibukit tamang beberapa tahun kemudian baru pindah ke bukit tiung kandang, dan dalam perkembangannya berpindah lagi, kelompok inilah yang menjadi cikal bakal suku Dayak Bukit. Kemudian 2 (Dua) kelompok pindah kehulu dan masuk menyelusuri sungai yang ditutup pulau (nantinya dikenal sungai tapayant atau tayan), satu kelompok ini dipimpinan Pe’ Langkap cikal bakal Dayak Tobag singah di tanah disebut Rayak´. Sementara kelompok pimpinan Pe’ Apet ada beberapa perahu menuju uncak sungai (sungai tayan sekarang), kelompok inilah nantinya menjadi cikal bakal suku Dayak Mali, Dayak Peruan dan Taba.Kelompok kecil yang dipimpin Pe’ Langkap untuk beberapa tahun lamanya tinggal di Rayak. Kemudian mereka pindah kehulu dekat muara sungai kecil. Mereka pun mulai menebang kayu untuk membuat radak tantak atau rumah betang, Kayu besar di muara sungai kecil itu pun sekali tebang dengan Latok (parang/alat untuk menebas menebang). Kelompok ini kemudian berkembang menjadi 40 (empat puluh) jiwa. Setelah berabad-abad lamanya kelompok ini berkembang dan membuat pemukiman yang dinamakan Laman Lancak.
Demikianlah Dayak Tobag kemudian berkembang dan membentuk wilayah adatnya sendiri, lengkap dengan struktur adat, hukum adat, dan mitologi leluhur yang tetap dijaga hingga hari ini.
Penutup
Sejarah Dayak Tobag bukan hanya tentang legenda, tetapi juga tentang jejak panjang manusia yang berjuang, berpindah, dan membangun peradaban di tengah hutan Kalimantan. Ketika fosil purba dan cerita mitologi bersatu, maka semakin kuat keyakinan bahwa tanah Borneo ini memang tanah tua — tempat manusia pertama di Kalimantan pernah berjalan, berburu, dan hidup bersama alam.
