Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Dayak Tobag merupakan bagian dari sejarah panjang perjuangan dan eksistensi masyarakat adat Dayak, khususnya di wilayah Tayan dan sekitarnya. Perjalanan organisasi masyarakat adat ini sudah dimulai sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Lembaga Masyarakat Adat Dayak Tobag
Perjalanan organisasi masyarakat adat Dayak di wilayah Tayan, Kalimantan Barat, memiliki sejarah panjang yang tak terlepas dari semangat perjuangan menjaga eksistensi adat dan budaya Dayak sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Pasca kemerdekaan, tepatnya pada 3 November 1945, lahirlah sebuah organisasi bernama Dayak In Action (DIA) yang dipimpin oleh F.C. Palaunsuka sebagai Ketua. Organisasi ini menjadi wadah perjuangan politik dan sosial masyarakat Dayak di masa awal Republik Indonesia.
Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1946, dalam sebuah pertemuan besar di Putussibau, organisasi DIA berganti nama menjadi Partai Persatuan Dayak (PPD). Perubahan nama ini juga menjadi simbol semakin kuatnya peran Dayak dalam kancah perpolitikan nasional. Kantor pusat PPD pun dipindahkan ke Pontianak, sebagai pusat aktivitas organisasi.
Pada tahun 1950, di wilayah Kewedanaan Tayan, para tokoh adat Dayak Tobag mulai aktif dalam kepengurusan PPD. Beberapa nama besar tokoh adat Dayak Tobag yang tercatat menjadi bagian penting dalam perjalanan PPD di Tayan antara lain:
Mangku Cunggat
Mangku Tapot
Mangku Cembang
Dani
Salim
Kintoi
Mayoritas pengurus PPD di wilayah Tayan berasal dari masyarakat adat Dayak Tobag, yang dikenal kuat menjaga nilai-nilai adat dan budaya leluhur.
Memasuki masa Pemilu 2 Mei 1977, pemerintah saat itu menerapkan penyederhanaan partai politik. Sistem multipartai dihapus dan hanya menyisakan tiga kekuatan politik: PPP, PDI, dan Golkar. Akibatnya, PPD sebagai partai lokal Dayak ikut melebur ke dalam PDI bersama partai-partai lainnya seperti PNI, PARKINDO, PARKAT, PARTAI IPKI, dan PARTAI MURBA.
Seluruh aset dan wewenang PPD di wilayah Tayan kemudian diserahkan kepada komunitas adat terbesar setempat. Penyerahan itu dipercayakan kepada para eks pengurus PPD seperti Kintoi, Cembang, Dani, Salim, Ludang, dan Langit.
Namun setelah peleburan tersebut, organisasi masyarakat adat Dayak di Tayan sempat mengalami kevakuman cukup panjang.
Barulah sekitar tahun 1979 hingga 1992, peran adat kembali dihidupkan melalui para pemegang adat tertinggi di masing-masing wilayah Dayak Tobag. Berikut adalah nama-nama pemegang adat beserta wilayah adatnya:
Nama Pemegang Adat | Wilayah/Tiang Adat |
---|---|
Ikku | Tebang Benua |
Suato | Gundol Cempedak |
Jais | Entangis |
Dani | Beginian |
Sani | Labai Lawai |
Poen | Bagan Asam |
Latep | Tanjung Beringin - Seienu |
Nah | Sei Rongas |
Baden Deren | Temurak |
Kintoi | Subah |
Adi | Sebemban |
Dexol | Segelam Danau |
Nubi | Katok Bantok |
Kebangkitan kembali peran adat ini tidak lepas dari prakarsa seorang tokoh penting, yaitu putra daerah Tebang Benua Amen Arianto, SH, yang dikenal memiliki perhatian besar terhadap pelestarian adat dan budaya Dayak Tobag.
Sejarah panjang LMA Dayak Tobag membuktikan bahwa semangat menjaga adat dan budaya selalu hidup dalam diri masyarakat Dayak. Meski sempat vakum dan mengalami tantangan zaman, peran tokoh-tokoh adat Dayak Tobag mampu menghidupkan kembali kekuatan adat sebagai identitas yang tak ternilai harganya.
@2025 Lembaga Musyawarah Adat Dayak Tobag. All rights reserved.